Posted in short story

Permintaan Terakhir

MENGADILI… Satu, menyatakan Terdakwa Upin bin Saripin telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain. Dua, menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana MATI!

***

Upin sudah merencanakan perbuatan yang hendak dilakukannya agar ia pasti dihukum mati. Suatu perbuatan sadis yang sudah pasti memenuhi unsur-unsur Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana adalah melakukan mutilasi. Ia berlagak seperti tukang daging yang menggenggam sebuah pisau besar dan tajam, memotong-motong tubuh seorang pria yang merupakan tetangganya sendiri di halaman belakang rumah si tetangga itu pada malam hari, yang sebelumnya ia buat tidak sadarkan diri.

Bahkan, Upin telah memikirkan hal-hal dapat memperberat  pertimbangan Majelis Hakim untuk menjatuhkan pidana seperti tidak menyesali perbuatannya yang menyebabkan istri dan anak-anak korban kehilangan kepala keluarganya, memberikan keterangan yang berbelit-belit sehingga menghambat jalannya sidang, tidak menghormati persidangan dan bersikap tidak sopan, serta menjadi seorang residivis. Semuanya tercantum dalam berkas putusan yang langsung berkekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi, karena Upin langsung menerima putusan dan tidak mengajukan upaya hukum banding.

Ingatan Upin melayang jauh kembali ke masa remajanya. Ia pernah diselundupkan dari Pulau Sumatera oleh sebuah penyalur tenaga kerja tidak resmi ke Malaysia. Di negeri jiran tersebut, Upin dipekerjakan sebagai petugas kebersihan di sebuah kafe dengan bayaran yang sangat rendah. Suatu kali, seorang pengunjung kafe menawarkannya pekerjaan dengan imingi-iming sejumlah  uang besar. Setelah tahu bahwa ia harus membawa narkotika ke Indonesia, ia langsung bersedia. Ia berharap setibanya di Bandara, petugas bea cukai akan menangkapnya, lalu BNN yang akan menahannya, sampai akhirnya ruang persidangan akan segera berubah menjadi ruang eksekusi mati.

Upin diputus bersalah karena terbukti telah menyelundupkan narkotika dari Malaysia ke Indonesia. Ketika itu ia berharap Majelis Hakim menghadiahinya hukuman mati. Sayangnya, Jaksa Penuntut Umum hanya menuntut dua puluh tahun penjara. Pledoi dari Sebuah Lembaga Bantuan Hukum yang giat mengampanyekan anti hukuman mati dan bersikeras untuk menjadi pembelanya berhasil membuat Hakim menjatuhkan vonis yang lebih ringan, sepuluh tahun penjara saja. Upin pun bertekad akan melakukan kejahatan yang lebih berat selepasnya dari penjara.

***

Upin begitu terobsesi untuk menyandang status terpidana mati, hanya karena sebuah permintaan terakhir yang bisa diminta sebelum eksekusi.

Upin pernah mendengar dari teman-temannya di penjara tentang permintaan-permintaan terakhir sebelum para terpidana mati dieksekusi. Ada permintaan yang wajar-wajar saja seperti menulis surat wasiat, memohon untuk dipertemukan dengan orang tuanya, atau agar dimakamkan di kampung halamannya. Ada pula permintaan terakhir untuk menyantap makanan dengan menu-menu yang unik dan aneh seperti yang diberlakukan di Amerika Serikat.

Sepertinya selain berupa kebebasan atas eksekusi mati, seorang terpidana mati dapat meminta apapun yang ia inginkan, Upin bergumam demikian.

***

Upin tidak pernah mengetahui seperti apa sosok ayah kandungnya. Upin hanya tahu cerita-cerita tentang ayahnya dari ibu dan neneknya. Ayahnya adalah seorang penembak jitu dan terlatih dari institusi POLRI. Konon katanya, beliau ditugaskan di Pulau Nusakambangan sebagai anggota regu tembak bagi para terpidana mati, tempat yang sama dengan lokasi Upin harus menghabiskan hari-hari menjelang eksekusi.

***

Upin mengajukan sebuah permintaan terakhir kepada pihak Kejaksaan bahwa ia ingin mengetahui apakah salah satu regu tembak yang akan mengeksekusinya bernama Saripin. Pihak Kejaksaan sempat terkejut dengan permintaan tersebut dan hendak menjelaskan bahwa permintaan seperti itu tidak dapat diterima. Upin memohon agar permintaannya tersebut dikabulkan dalam bentuk jawaban berupa ‘ya’ atau ‘tidak’.

Upin tidak memiliki permintaan lainnya, hanya itu saja yang benar-benar ia minta. Pihak Kejaksaan akhirnya memberikan sebuah jawaban atas permintaan terakhir tersebut, setelah mengetahui alasan sebenarnya dari permintaan yang mungkin lebih tepat disebut sebagai rasa penasarannya selama ini terhadap keberadaan ayahnya.

Ya.

Hari eksekusi pun tiba. Upin dibawa ke sebuah tempat yang hanya diketahui oleh orang-orang yang berkepentingan dan berhak menghadiri dan mengikuti proses eksekusi. Upin diberi pilihan untuk menutup matanya atau tidak. Ia memilih untuk membiarkan matanya terbuka dan mencoba menerka-nerka yang manakah Ayah, dari dua belas orang bersenapan yang berada di hadapannya saat ini. Beberapa detik kemudian, terdengar senapan-senapan yang berbunyi secara bersamaan.

***